Selasa, 28 Desember 2010

Monologku dengan tidak ada

'Bagaimana?'

'Kita mengerti. Tapi sudahlah, kita khawatir.'

'Untuk apa?'

'Cukup kau sia-siakan waktumu. Bukankah kau sudah mampu mencerna "tidak akan selalu turun badai, mentari siap membungkus kesedihanmu dalam perutnya. Dan terbakar disana."

'Aku tau . . .'

'Lantas . . . .?'

'Tunggu saja'

'Apa?'

'Aku akan temukan jalan mentari itu dengan caraku sendiri. Biarlah ku tembus badai, remukkan raga, bekukan air mataku. Mungkin disana aku baik-baik saja.'

'Disana? Dimana?'

'Hahaha aku tidak tahu . . .'

'Pembohong! Tak mungkin kau tembus badai dan kau baik-baik saja. Berhentilah, kau tidak sekuat itu'

'Tidak pernah aku ucap kuat akan diriku. Apalagi hatiku. Bagaimana kau ini?'

'Tapi pernah kau bilang, "aku siap menerima resiko apapun yang datang setelah hari ini." Bukan begitu? Itu menandakan kau kuatkan? Atau telinga kita yang tak tentu menangkap suara?'

'Maaf . . aku hanya butuh hiburan.'

'Maksudmu?'

'Kau tau maksudku apa. Aku hanya menghibur hatiku saat ku ucap kalimat itu.
Seberapa siapnya hatimu jika kau tak sekuat batu kali yang terbawa arus tapi tetap seperti itu?
Seberapa siapnya hatimu jika kau tak setegar ilalang yang terombang-ambing angin dan sesekali melihat teratai di seberang sana? Seberapa siapnya hatimu?
Selalu. Aku jatuh dalam kata yang salah makna.
Lucu. Karena yang ku tahu sekarang kata tak lagi bermakna.'

' . . . . . . . '


******************************

"Jika yang mereka sebut 'sedih' itu mengeluarkan air mata. Lalu yang dialami olehnya itu apa?"
"Ya sedih juga. Mungkin air matanya beku. Disana dingin."
"Oh ya, ini bulan Desember. "
"Indonesia tidak alami musim dingin, jenius!"
"Lalu?"
"Rasa percaya pada dirinya sendirilah yang membeku ikut alami musim di Eropa sana. Dan hatinya, butuh rasa bangga untuk menghangatkan jiwa dan lelehkan lukanya."
"Belikan saja dia api."
"Yang aku tahu, api itu ada dimana seseorang yang ia cintai berdiri. Membawakannya kembali rasa percaya dan cerita untuk berbagi. Tidak perlu aku yang beli."


*****************************

Dingin itu ketika yang dekat menjadi jauh dan lebih jauh lagi ketika kehadiranku saja seperti mati . . .






Dear Khuldiku,
Hampir saja aku kehilangan separuh logikaku. Aku sakit dengan dialog bisu. Do'aku selalu untukmu, setelah ibuku, lalu kamu.

0 komentar:

Posting Komentar